Bagian ke 6 Chapter II Reckon ILLANA
[6]
the la brea tar pits
"Nothing is in front of me
I feel I can’t even breathe
Don’t think that I can handle this
Baby I’m so in agony
Look at the state of me
Left here broken
You said you’d never leave
Look what you’ve done to me
Left here broken”
[Broken – Mclean]
Arka duduk di bench pemain, memegang sepatu sebelah kirinya yang belum terpasang. Hari itu masih pagi, sekitar pukul 6, tapi semua pemain dan pelatih sudah hadir di lapangan. Cuaca yang mendung sangat tidak mendukung semangat Arka untuk berlatih hari itu. Hari ini genap 4 hari kepergian Illana ke Jerman. Entah kapan Illana akan kembali, dan Arka semakin yakin bahwa kesempatannya untuk bertemu Illana kembali adalah sebuah fatamorgana.
Dia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya tak pernah berhenti merasakan Illana. Pikirannya hanya tentang Illana dan Illana saja. Arka seorang pemain gelandang bertubuh proposional dengan bakat, keakuratan dan kekuatan yang menjadikan dirinya kandidat pemain tim nasional. Wajahnya tampan, dan matanya lembut. Arka bukan pemain sombong yang arogan, dia punya banyak penggemar wanita yang bersedia melakukan apa saja untuknya. Kini, Arka tak ayal seperti tumpukan karung bekas, bersandar pada hatinya yang luluh lantak.
Arka menunduk, tangannya kaku karena terpaan dinginnya pagi. Teman-temannya telah mendahuluinya melakukan pemanasan ringan, namun kakinya tertancap di tempatnya menjejak kini. Arka kehilangan separuh dirinya dan dia tahu itu. Illana memang bukan siapa-siapa, dia memang tidak cantik dan tidak melakukan apa pun kepada Arka. Selain kejujurannya, ketulusannya, ke-dia-annya, Illana hanya tak bisa dibandingkan dengan apapun dan kenyataan bahwa dia adalah orang yang sangat disayanginya begitu dalam. Arka memejamkan mata, mencoba merasakan Illana di hadapannya.
“Illana, aku tidak memaksamu untuk memikirkanku saat ini, namun aku ingin kau membuatku merasa kau ada. Aku tidak ingin menangis, aku laki-laki Illana. Aku ragu aku bisa berlari, aku ragu aku mampu berdiri, aku tak lagi yakin pada diriku sendiri. Aku tidak akan mempertanyakan mengapa kau pergi. Aku hanya bersedih mengapa hati ini sedemikian sakit. Kau bukan satu-satunya wanita yang pernah singgah di hati ini Illana. Tapi dirimu menyisakan begitu banyak imagi. Kau memberikanku arti. Illana, jika kau mendengarku kini, maka katakanlah pada angin yang selalu membelaiku ketika aku berlari, bahwa kau akan kembali. Dan jika saat itu datang Illana. Aku menunggumu di sini“
Arka menarik nafasnya kuat-kuat, seakan dia menginginkan angin menjadi pelipur hatinya yang kosong, memakai sepatu sebelah kirinya, menjejakkan kakinya kuat-kuat dan mulai berlari.
[4 jam berlalu, Arka merebahkan tubuhnya yang lelah pada hamparan rumput yang hijau ]
Aziz, kiper kesebelasan itu, menghampiri Arka, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut.
”Lupakan Kak, jangan bersedih, dunia tidak akan berakhir tanpanya, coba lihat sekeliling“, Aziz menunjuk ke arah bangku penonton yang melingkari mereka.
Arka pun bangkit, duduk bersila, dan memandang Aziz yang tersenyum. Matanya menjelajahi setiap orang yang sedang menontonnya latihan, sebagian melambai pada saat Arka menoleh, sebagian lagi menjerit kegirangan.
”Bukan ini yang aku cari, sesuatu yang lain“. Arka pun meneguk minuman dari dalam botol di sampingnya. Aziz menambahi “Sesuatu yang lain yah Kak“ matanya menyiratkan kata-kata antara campuran rasa heran dan ketidaktahuan, kemudian dia tak kuasa menahan tawa. Arka, mau tak mau tersenyum dengan kikik lucunya. Namun senyum itu tak lagi sama seperti yang pernah di lihat Aziz dulu, atau bahkan yang mungkin pernah dirasakan Illana.
Sesi latihan berikutnya dihabiskan Arka dalam diamnya yang panjang. Arka seperti hilang dalam kehampaan yang nyata. Dia tidak ingin menjadi lemah atau berputus asa, namun jantungnya seakan tak lagi berdetak. Illana tidak pernah mengatakan cinta kepada Arka, sedangkan Arka selalu begitu repot meyakinkan bahwa Illana pada detik tahu bahwa Arka masih mencintainya. Sekuat tenaga semangat itu dialirkan ke seluruh tubuhnya.
Illana bukanlah gadis sempurna yang di dambakan setiap laki-laki di dunia. Arka tidak pernah melihatnya tersenyum, kaget, marah, bersedih, menangis, mengerutkan kening, mencibir. Arka hanya mampu menghitung berapa kali Illana menghela nafas berat selama mereka bersama. Arka merasakan beban yang begitu berat di dada Illana. Illana mampu membaca wajah, mampu mengenali gerak, Illana membaca emosi orang lain, namun dia kehilangan kemampuan untuk mengenali emosinya sendiri. Illana hidup dalam kesendiriannya yang nyata, sedangkan seandainya tangan Arka dan Illana bersentuhan, Illana terdiam, memandangi kedua tangan itu seakan sesuatu sedang terjadi di sana.
Arka selalu tak kuasa untuk tidak memeluknya, memeluk tubuh Illana yang kecil dan dingin. Arka hampir tak mampu merasakan tubuh mungil itu melakukan gerakan, bahkan tarikan nafasnya begitu lembut, seakan kau mampu mendengar suara hati yang berbisik keluar melalui sela-sela dadanya. Arka mencintai gadis itu, sama seperti ia mencintai kebenaran akan adanya Illana. Illana tidak pernah membalas pelukan itu, ketika lengan Arka sampai padanya, dia hanya terdiam. Arka hanya mampu merasakan ujung-ujung jari Illana menyentuh rambutnya. Arka selalu memejamkan matanya, pada awalnya hanya itu yang mampu dia lakukan, selanjutnya mata yang terpejam itu diiringi senyum. Arka menikmati keheningan yang menenangkan. Hanya mereka, yang mendengar detak jantung masing-masing dengan sabar.
Kepala Illana selalu tegak, tubuhnya selalu kaku, hanya ketika Arka memeluknya Illana menjadi seperti tumbukan bulu-bulu halus. Arka merasakan tumpuan berat tubuh Illana di dalam lingkaran lengannya. Illana mengajarkannya untuk tidak takut akan sepi, untuk tidak menyerah di kala sendiri, untuk bersahabat dengan diam. Karena hanya dengan diam, Arka mampu merasakan Illana, dan Illana merasakan dirinya. Jauh melebihi kata-kata yang pernah di ciptakan di muka bumi. Arka akan memeluk Illana, tanpa bergeser sedikit pun, menunggu Illana selesai menyentuh ujung-ujung rambutnya. Tapi itu tidak akan terjadi lagi, dan di tengah semua gadis yang berteriak padanya, Arka merindukan keheningan itu.
Arka hanya manusia biasa, dan dia sedang merasakan cinta yang tak sanggup digapainya saat ini. Laki-laki ini, sama seperti yang lain, ingin mengungkapkan kedalaman ini. Sebagian menulisnya dalam ribuan lembar surat, sebagian merekamnya dalam film-film, atau mungkin menyanyikannya dengan lara yang hampa.
“Aku tidak sanggup menolak rasa ini Illana. Kau begitu nyata di tengah semua kejadian yang kuanggap fana ini. Hanya jika aku berlari dan memeluk angin, aku merasa kau ada di sana. Aku merasa dirimu memelukku kembali. Jika kau kembali nanti dan kau temukan serpihan diri ini karena tak kuasa menahan sakit, kumohon satukan kembali dan bawalah kemanapun kau pergi“
The La Brea Tar Pits, jika Arka tahu istilah ini, jika saja Arka masih bersama Illana, pasti gadis itu akan membantunya menemukan jawaban. Mungkin dia akan semakin terpukul. Tempat seperti ini ternyata tersedia di bumi, tempat bagi fosil dan sampah tubuh manusia yang mati tak berdaya. Tenggelam pasrah tanpa daya, berkubang begitu saja, tidak melakukan apa-apa. Mungkin Arka bisa kesana sekali waktu, menemui teman senasibnya, yang sama-sama kehilangan nyawa, yang menilai menjadi perlu untuk menenggelamkan diri dan tidak muncul ke permukaan lagi. Pemakaman, yah tempat itu mirip pemakaman, dan Arka sedikit lagi mungkin akan memutuskan berakhir di sana, lebih cepat dari yang dia perkirakan.
.ADIOS.
DJ
No comments:
Post a Comment