Tuesday, 29 June 2010

the body [mono]log

[delapan lebih tiga puluh tiga menit]

Mungkin karena memilih itu sulit. Mungkin karena membuat keputusan itu tidak mudah. Hanya karena itu aku merasa berdosa pada diriku sendiri pada akhirnya.
Otakku berpikir keras menjaga idealisme sedang bibirku hanya bisa menurut. Hatiku menenangkan dirinya sendiri berulangkali. Mataku berkata [tenanglah wahai dawai hati, kau akan mendapatkan kebaikan yang nyata di kemudian hari], dan hati pun menjawab [mata, tidakkah kau melihat, segala usaha yang dilakukan oleh kaki dan tanganmu seharian ini?], dan hatipun menutup dirinya dan pergi. Hati tengah marah. Dia tidak dapat mengerti dengan apa yang otak pikirkan. Jika mungkin, hati ingin mati saja.

Mata kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, kedua belah tanganku menatap mataku penuh haru. Tangan kanan berkata [mata telah kau saksikan, hari ini aku membawa setumpuk kertas yang berat karena harapan yang dipanggulnya]. Mata terduduk layu. Tangan kiri menimpali [ hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya aku membantu tangan kanan dengan membawa sebotol air putih yang di bawa dari rumah yang jauh, tapi kami tidak lelah wahai mata, maka janganlah dirimu ragu, katakanlah pada sang hati, kami ada untuk membantunya merasa baik kembali]. Mata pun semakin tak kuasa menahan tangis.

Mata pun memindahkan pandangannya menuju kaki. Kedua kaki bersorak dalam letihnya, kaki kanan berbicara mendahului kaki kiri [senang bertemu denganmu mata, janganlah bersedih, tegarlah, tanpa dirimu aku hanya sebongkah tulang dan daging yang tak berguna, bimbinglah jalanku mata, sesungguhnya hanya engkaulah yang tahu kapan kami harus berhenti]. Mata tenggelam semakin jauh. Kaki kiri menyenggol kakin kanan dengan gusar [kami tidak akan lelah wahai mata, walaupun aku selalu berjalan setelah kaki kiri, tapi kami akan tetap bersama, wahai mata kami mendapat anugrah, masing-masing kami memiliki kompas yaitu dirimu, yang kanan dan yang kiri. Maka katakanlah kepada hati, janganlah bimbang, kami telah bahagia, dan akan menolong hati untuk berdiri]. Mata tertunduk menatap tubuh yang lesu. Rongga dada berkata [Hati sedang begitu bersedih, mintalah bantuan telinga, aku tahu dia pendengar yang baik].

Mata semakin bersedih, dan pada akhirnya ia mengeluarkan suara [aku bahkan tidak dapat melihat telinga, wahai rongga dada, aku bahkan tak mampu merasakannya]. Mata menangis dengan hebatnya. Rongga dada mendesah penuh kasih [Wahai mata terpejamlah, dan lihatlah, di sana kau akan bersatu dengan hati yang kau cari, tidak hanya telinga yang akan kautemui kau juga akan berbicara dengan otak yang selalu berpikir. Kau akan mendapat nasehat yang berharga]. Mata mengikuti nasehat rongga dada dan mulai menyelimuti tubuhnya. Dia ketakutan, gelap menyeruak ke seluruh tubuhnya yang kecil. Rongga dada membantu menenangkannya. Rongga dada meraih hidung dalam dekapannya, menarik udara segar, memenuhi setiap senti ruang, dan mengeluarkannya kembali. Matapun merasa lega karena hati mendekatinya perlahan namun pasti.

Hati berkata [wahai mata, kita berjumpa kembali, apakah kau sudah mendapatkan jawaban atas tanyaku padamu?]. Mata mengangguk penuh kearifan, dan dia pun berbicara [aku telah bertemu dengan kedua kaki dan tangan, dan mereka gembira karena telah berusaha begitu keras seharian ini, Mereka ingin aku mengatakan sesuatu padamu wahai hati, bahwa janganlah bersedih dan janganlah ragu, kami siap membantumu bangkit. Aku adalah petunjuk bagi mereka, dan kaulah petunjukku. Maka jangan biarkan aku tersesat]. Hati pun merekah, rongga dada tersenyum dan udara bertiup membuai kegembiraan.

.adios.

DJ

2 comments: