Monday 7 February 2011

[project dear Papa] NulisBuku

hehehhehe iyah ini seperti re-post dari tulisanku yang terdahulu ^^b hanya sedikit penambahan di sana-sini, untuk tujuan Charity di Dear Papa Project . Ayo dukung Project ini kawan.

Pa, aku kangen ... [DEAR PAPA PROJECT]
Papa,
Yang jelas Papa akan kaget melihat anak gadisnya jadi suporter bola sekarang.

Papa, sudah lima tahun lebih, tapi Papa masih saja seperti ada di sini. Orang yang paling keras, orang yang paling suka perdebatan, orang yang sangat impulsif, orang yang sangat terbuka, orang yang kaya akan lelucon ringan yang segar, orang yang mencintai sepak bola dan musik jazz, orang yang tidak takut membuat kesalahan, orang yang tegar dan mandiri, orang yang mencintai kehidupan apa adanya, orang yang rela mengorbankan apa saja untuk keluarganya, orang yang hanya ingin anak gadisnya menjadi orang baik.

Papa tahu tidak, 7 tahun yang lalu, Papa adalah orang paling menyebalkan di dunia, kita seperti tidak pernah lelah berdebat. Tentang basket yang kugemari, tentang pacaran, tentang bisnis MLM, tentang memilih idola, tentang agama.

Aku benci nonton bola Pa, aku benci musik jazz yang setiap pagi Papa putar itu. Aku tidak mengenal Del Piero aku pun tak ingin tahu siapa itu Frans Beckenbauer. Aku masih ingat dengan jelas Papa membawaku ke toko kaset dengan hanya membawa uang Rp.50.000, demi Backstreet Boys yang selalu kumohonkan dalam doa di setiap sholatku agar Papa berhenti memutar Casiopea atau Karimata. Aku tidak berdoa untukmu kala itu Pa, aku meminta Allah swt memberikan aku kaset Backstreet Boys.

Setelah kau pergi Pa, aku menelepon Mama di Abu Dhabi, setelah bersimbah air mata di telepon itu, kata Mbak Ani teman Mama yang sama-sama guru itu, ehm kalau Papa tidak ingat, kita pernah bertemu Mbak Ani di depan McDonald Sarinah. Iya, katanya Mama sempat masuk rumah sakit. Saking sedihnya mendengar Papa pergi, iya Pa kalau Mama tidak bisa menyampaikan ke Papa, biar aku saja. Rasanya seperti ini Pa pas Papa tidak ada, kosong, yah itu tidak terasa apa-apa sama sekali. Seperti orang dungu yang tidak tahu harus apa, yah mungkin itulah yang membuat aku, Mama dan Kakak menangis, karena tahu kita tidak akan bisa merasai Papa lagi.

Papa, aku sekarang aku tahu bahwa semua yang ada pada Papa ternyata adalah aku. Papa membuat sebuah cermin kecil yang Papa pelihara dengan kasih sayang. Papa ternyata terus bersamaku, dan aku hanya refleksinya. Terlambat ya Pa, selalu saja seperti ini, aku selalu terlambat tahu, terlambat menyadari. Bahwa apapun itu, Papa selalu memberikan yang terbaik, dan andai saja saat itu aku langsung tahu, maka perdebatan-perdebatan yang membuat Papa marah itu pun tidak akan terjadi.

Makin lama aku merasa kalau kita berdebat tentang berbagai macam hal, itu karena kita berdebat dengan diri kita sendiri. Papa berdebat dengan cermin kecilnya, dan aku seharusnya tahu bahwa aku tengah berdebat dengan versi dewasaku, versiku nanti ketika menjadi orang tua. Aku tengah mempermasalahkan apa yang akan menjadi pandanganku nanti.

Papa, aku sudah 24 tahun sekarang, seorang maniak sepak bola, dan tidak bisa hidup tanpa musik jazz yang terdengar di telinga. Papa boleh tertawa deh sekarang, tapi ternyata sepak bola itu menyenangkan dan kini aku mengenal beberapa pemain sepak bola Pa, ahhh andai Papa masih di sini, bisa duduk di VIP saat Timnas Indonesia bertanding, betapa Papa pasti gembira. Nanti aku titipkan salam Papa padanya.

Aku menyesal Papa, dan aku hanya bisa menangis mengingatnya. Maafkan aku Pa, maafkan aku, mengapa aku begitu terlambat mengerti, begitu terlambat memahami Papa. Diatas semua penghargaan Papa terhadapku, aku tidak pernah menganggapmu pria yang hebat. Aku dulu selalu menginginkan Ayah seorang tentara, bukan arsitek jago gambar yang kerjanya duduk di atas meja gambar berjam-jam. Saat Papa menjelaskan tentang pilihan hidup dan passion, aku hanya mencibir, owh andai saja bisa kuulang waktu itu Pa.

Aku adalah dirimu Pa, setiap kali stadion sepak bola itu kumasuki, setiap kali tombol ON ku kusentuh untuk memutar lagu-lagu jazz, aku merasaimu Pa, aku bisa, dan aku sangat bahagia, ternyata semua tentang dirimu begitu dekat denganku, begitu nyata. Setiap tepuk di kepalaku, setiap kata bijak dari mulutmu, setiap pelukan menguatkan itu, setiap detik yang kita habiskan untuk tertawa dan menangis bersama. Setiap detik aku bergerak menjadi dirimu. Aku bukan apa-apa, aku hanya refleksimu. aku hanya cermin kecil itu, dan kini aku beranjak menjadi dirimu Pa.

Teriring doa yang selalu kupanjatkan untukmu, semua kabar akan kuberitakan, mungkin Mama mendoakanmu lebih banyak daripada doaku, tapi doaku bersama sebuah cerita Pa, tentang score sepak bola dan penyanyi jazz baru yang Mama tidak tahu. Tunggu aku Dhuhur nanti ya Pa, tunggu aku selalu.

Papa Supariono Abdul Manan [12 Juni 1951 - 1 April 2006]

No comments:

Post a Comment