Thursday 27 January 2011

A Beloved Father Called Papa

there it would be something than just posting words in my blog. I have been already change so many things in it. Just to refresh, and looking for something new.

Pagi ini, seperti biasa terbangun dengan kaget (sudah setiap hari seperti ini, walaupun mempersiapkan diri untuk terbiasa, tapi sepertinya ini 'kaget' sudah merupakan bentuk 'bangun' dari 'tidur' *halah*). Ingin hati tidak segera beranjak dari kasur empuk dan selimut hangat, tapi nampaknya saya sudah terlalu banyak membuat kesalahan tahun 2011 ini (yah, memang baru berjalan 27 hari,tapi saya yakin saya sudah membuat banyak kenangan yang sama sekali tidak ingin saya kenang).

Tanggal 25 Jan 2011 adalah hari dimana nasib saya ditentukan oleh dua orang peng-interview. Saya mendaftarkan diri untuk mendapatkan Beasiswa Ke Australia sejak 6 bulan yang lalu (perjalanan yang cukup panjang untuk sampai ke tahap ini, dan belum-belum saya sudah tidak ingin mengulanginya lagi, saya lelah), pagi harinya saya sudah merasa bahwa wawancara ini tidak akan berjalan dengan baik, namun saya tetap berangkat dengan rasa takut yang entah mengapa sulit sekali saya hilangkan.

Singkatnya, wawancara saya berlangsung buruk, dan pada saat ditengah-tengah wawancara pun saya sudah tahu kalau saya akan gagal. Saya pasrah. Pada saat keluar ruangan untuk berjumpa dengan teman-teman 'senasib' di Hall, saya tiba-tiba saya teringat akan ayah saya (mulai sekarang dan selanjutnya akan ditulis dengan kata 'Papa'). Dulu, ketika untuk pertama kali saya diumumkan menjadi wakil Propinsi Jawa Timur di Ajang World School Debating Championship di Jakarta, saya sudah merasa bahwa saya akan gagal (which is, sama persis dengan wawancara Beasiswa saya), bedanya saat itu saya masih kelas 2 SMA dan sangat (sangat-sangat-sangat) berambisi.

Pertandingan tidak berjalan baik dan dua rekan saya (Ellien dan Yati = dua-duanya meneruskan sekolah S1 dan S2 di Jepang karena kepintaran di atas rata-rata air)mungkin kecewa karena saya sungguh dapat dibilang cuma 'nglawak' di sana. bahasa inggris saya hancur berkeping-keping, dan saya sama sekali tidak bisa berpikir (which is (lagi-lagi) sama dengan wawancara beasiswa ini). Lawan saya kala itu adalah para debaters dari SMA-SMA ciamik negeri ini (dalam wawancara beasiswa ini _sayangnya_ saya juga berhadapan dengan 'debaters' instead of interviewer).

Yah begitulah, mungkin saya harus banyak-banyak introspeksi diri, mungkin saya terlalu pede, mungkin saya terlalu banyak berkata 'well' dan lain-lain, dan lain-lain yang lain -halah-. Dulu saat kalah WSCD saya menelepon kerumah dan pada saat laki-laki di ujung telepon berkata "Assalamualaikum" air mata saya langsung mengalir. Saya menangis hanya karena mendengar suara Papa. Semakin tak tertahankan saat beliau langsung mengatakan "Ini Pipit ta?", sambil sesenggukan saya bilang "Waalaikumsallam, Iya Pa". Saya terdiam selama telepon berdurasi 3 menit itu selainnya hanya Papa yang berbicara panjang lebar, yang (kira-kira) seperti ini :

"Uwes talah Nduk, ga usah dipikir, kabeh wong yoh wes mesthi onok gagal e, kabeh iku onok masane. Sakjane kudu seneng, awakmu iku wes luwih beruntung dibandingno karo konco-koncomu sak Jawa Timur, sing dipilih mek telu lho, yeopo gak hebat, Papa wes seneng awakmu koyok ngene iki, masio gak menang ga dadi soal. Ojo dadi atimu. Ojo susah. Pengalaman iku yoh ancen ono sing ga enak, mosok enak terus, iso-iso menungso lali marang Gustine. Yowes nangis-nangis o sing banter, tak rungokno".

[udahlah, tidak perlu dipikirkan,semua orang pasti pernah mengalami kegagalan, semua itu ada waktunya. sebenarnya kamu harus senang, kamu sudah lebih beruntung dibandingkan dengan teman-teman sebayamu di Jawa Timur, yang dipilih cuma tiga lho, bagaimana tidak hebat. Papa sudah senang dengan dirimu yang seperti ini. Meskipun tidak menang tidak menjadi soal. jangan membuatmu sedih, jangan bersusah hati. pengalaman itu juga pasti ada yang tidak enak, masa' enak terus, bisa-bisa manusia lupa akan Tuhannya. Yasudah nangis aja yang keras, Papa dengarkan]

Efeknya, tidak membuat saya semakin kuat, malah tangis saya meledak (baik saya gunakan kata-kata ini untuk menggambarkan betapa memang mata saya seakan terlepas saking sakitnya).Papa saya terdiam di ujung sana, tidak berbicara sepatah katapun, tidak berusaha menghibur lagi, dia hanya terdiam, sedang saya terus saja menangis. Setelah tangisan saya mereda, Papa kembali bicara, "Uwes, lego durung, lek durung nangiso meneh, lek wes kesel ndang di toto awak e, wes ayo usaha meneh, lek menang yoh siap, lek kalah yoh siap, yowes, sukses yoh Nduk, Assalamualaikum". [sudah lega belum, kalau belum nangis lagi saja, kalau sudah , ayo cepat menata diri, berusaha lagi, siap untuk kemenangan, siap untuk kekalahan. Yasudah, sukses ya]

Jari tangan saya menyusur bawah mata saya yang basah, mengucap salam dan menutup telepon dengan hati yang entah mengapa begitu lega. Diluar kubik wartel berukusan kuburan itu saya sudah ditunggu oleh Almarhum Bapak Setiadi (guru bahasa inggris sekaligus pembimbing Club ECC -English Conversation Club- di SMA saya yang tidak pernah sepi gelar *I mean it*).

Saat itu pemenang dan peringkat belumlah diumumkan tapi saya sudah tahu bahwa tim saya tidak akan mendapatkan peringkat tinggi dan keluar sebagai wakil Indonesia di World School Debating Championship di Peru (kalau tidak salah saat itu). Karena proses pertandingan kami tidak berjalan baik. Kali ini wawancara saya juga tidak berjalan baik, hanya bedanya saya sama sekali pasrah terhadap keputusan Allah swt apapun itu, dan juga satu hal yang berbeda yaitu tidak ada Papa yang setia mendengarkan saya menangis dan dengan caranya yang unik menguatkan saya.

Tribute To Papa "Supariono Abdul Manan" 12 Juni 1951 - 1 April 2006.

No comments:

Post a Comment