Tuesday 11 January 2011

Lions, I do understand.

Bahtera kita sedang berguncang saudara satu jiwaku.
Bepeganglah pada yang kuat.
Carilah, berlarilah, gapailah sekuat tenagamu.
Jika bukan pegangan yang sekuat baja, apa lagi yang mampu menahan beban tubuh kita dari goncangan maha dasyat ini.

Arema bukan tim kemarin sore, bukan tim bau kencur, apalagi tim kelas bawah. Arema tim besar, tim dengan jutaan suporter fanatik, Arema itu seperti rumah, seperti tempat kembali bagi sebagian kita yang pergi. Arema bukan hanya sekali ini diguncang masalah. Keuangan yang carut marut dibumbui pemain yang datang dan pergi, tidak membuat Aremania dan Aremanita menyerah. Jatuh bangun, membuat tim ini seakan menjadi lebih solid. Dukungan moral dan doa dari ribuan pendukungnya, selain daripada itu tidak ada lagi yang menguatkannya.

Arema itu seperti pengalih massa. Dimana dia bertanding di situ ada Aremania. Seperti magnet, seperti gravitasi. Mengumpulkan serpihan-serpihan kecil Aremania dan Aremanita yang berserak. Logis, kita tidak boleh melihat medan gravitasi ini rusak, tidak bisa melihat magnet ini kehilangan dayanya. Apapun, untuk sesuatu bernama Arema, yang telah menyatukan jutaan jiwa menjadi satu, untuk tujuan persaudaraan dan rasa memiliki. Arema haruslah terus ada, dia harus terus menjejak bumi. Lambang singa itu harus terus berkibar, di langit dan di dada kami.

Arema kini tengah digoncang badai. Para pemain kita tidak kunjung mendapatkan hak-nya. Padahal mereka bukanlah pion, bahkan mereka bukanlah binatang di arena sabung ayam. Mereka manusia, sama seperti kita. Mereka memiliki keluarga yang harus terus hidup, mereka harus bahagia harus sehat harus tersenyum, agar semangatnya tertular kepada kita. Bukan nama besar tim, bukan pula lambang singa itu. Jika kita berpikir jauh lebih bijak, bukan hanya supporter, tetapi juga pemain dan pelatih lah yang membuat lambang singa itu terus berlari. Mereka yang menguras seluruh tenaganya agar singa kebanggan kita itu terus mengaum.

Kita senang melihat mereka berlari, kita senang melihat mereka menang. Tapi, lihatlah ke belakang, pada saat kita pulang dengan senang hati, kembali ke rumah kita yang hangat, menyeruput secangkir kopi, dengan mulut penuh dengan cerita kemenangan dan kebanggaan yang terus menerus di terputar di kepala. Para pemain mungkin memiliki cerita yang berbeda, apapun itu mereka perlu mendapatkan hak-nya, terlepas dari apa yang kita lihat.

Ada yang mengatakan bahwa, baik mungkin kita bukan fans dari pemain atau pelatih [sebut saja Njankamania, Alongmania atau Robertmania, Bustomers atau Wakaholic, apapun]. Saya hanya mengajak semua kawan satu jiwa untuk menjadi mereka. Marilah kita berpikir lebih dalam, bahwa kita memang Aremania tapi tanpa pemain, apa jadinya kita. Pemain mungkin bukan segala-galanya bagi sebagian anda, tapi mereka asset, sama seperti kita para supporter. Anda mungkin berpendapat bahwa pemain boleh datang dan pergi, namun dengan kondisi tim seperti ini, siapa yang anda kira akan datang untuk merumput bersama lambang singa ini lagi?.

Sebagian besar dari mereka bertahan setelah musim kemarin juga mengalami hal yang sama, apa yang mampu tim berikan untuk loyalitas mereka?. Suporter bukan hanya penyanyi di lapangan hijau, juga bukan penggembira dan hanya berhenti di level penyebar semangat. Suporter itu social control, kita memiliki kekuatan untuk merubah sesuatu. Pemain tidak bisa berteriak membawa spanduk di lapangan bola atau di depan kantor pengurus club, mereka atlet bukan buruh bangunan atau pegawai pabrik. Mereka memiliki lebih sedikit pilihan.

Saya sedih membaca berita pagi ini, Njanka keluar dari Arema, mungkin ini bukan berita besar. Tapi dia itu motor penggerak yang merubah pemikiran Noh Alam Shah dan Ridhuan untuk kembali ke Arema setelah pinangan Sriwijaya awal musim ini. Kini kita kehilangan motor, siapapun Njanka, dia pemain penting. Saya tidak mampu membayangkan jika Ahmad Bustomi, Beny Wahyudi dan Kurnia Meiga menyusul langkah Njanka, hanya karena alasan gaji, sungguh ironi. Tim sebesar Arema, tak mampu membayar gaji pemain.

Kita masih punya banyak stok pemain, sebut saja Purwaka Yudhi, Rony Firmansyah, Fakhrudin, Waluyo, Esteban dan yang lainnya, jujur saya tidak memiliki cukup cara untuk menghentikan niat mereka jika ingin merumput di ladang lain. Saya heran mengapa orang mengira bahwa kehilangan pemain itu hal yang gampang. Mungkin ini berlaku bagi tim lain yang kemudian mampu membeli pemain lain dengan kualitas sama atau bahkan lebih bagus, namun dengan kondisi keuangan Arema, kita akan mencari pemain dimana?. Saya bersedia untuk masuk Arema tanpa dibayar, tapi siapa saya, saya bukan pemain sepak bola. Ini bukti bahwa ternyata semangat saja tidaklah cukup untuk membuat Arema tetap berlari.

Pemain itu penting, sama pentingnya seperti anda dan saya. Saya menekankan pada betapa ini masalah besar, bukan hanya isapan jempol belaka. Perubahan tidak bisa menunggu, manajemen Arema harus di rombak. Manajemen itu harusnya sekumpulan orang pintar bukan hanya politikus yang sama sekali tidak mencintai sepak bola.

Saya tidak takut, saya melawan. Mereka menggunakan Arema sebagai wadah politik kotor, mereka menggunakan Arema sebagai alat propaganda sosial. Apa lagi yang lebih jahat dari orang yang mengambil kesenangan dan kebanggaan supporter dari olahraga yang dicintainya.

Berlarilah singa-singaku, jika itu membuatmu terus hidup.
Tersenyum sajalah, kami lebih dari sekadar mengerti.
Keringat yang tidak dibayar itu dzalim.

No comments:

Post a Comment